06 Januari 2009

PENDIDIKAN BERBASIS ADAB DAN AKHLAK

Benarkah kita telah menyelenggarakan pendidikan? Lantas, bagaimana menjelaskan tindakan premanisme, korup, asusila, dan tindakan amoral dan melanggar hukum lainnya yang justru dilakukan oleh “orang-orang terdidik” dan dari “institusi-institusi dan lembaga terhormat” di negeri kita? Dimana letak kesalahan pendidikan selama ini?

Dalam menyikapi realitas pendidikan sebagaimana disinggung, menarik untuk dikaji pula sebuah sikap ”setengah hati” bangsa kita. Di tengah konsensus bahwa sumber krisis berkepanjangan yang dialami bangsa Indonesia adalah krisis moral, tapi sejauh ini, tidak ditemukan gerakan yang menyeluruh dan mendasar yang telah kita lakukan untuk mengentaskannya. Apakah kita telah benar-benar serius untuk dapat meyelesaikan masalah yang kita hadapi?

Pada titik ini, konsepsi pendidikan Islam, yang meletakkan adab dan akhlak sebagai fondasinya, sangat tepat dikemukakan. Sebelum melangkah lebih jauh, segera harus digarisbawahi bahwa adab dan akhlak hendaknya tidak dipahami sebagai dasar-dasar moral tanpa bentuk-bentuk praktis dalam kehidupan keseharian. Sebagaimana adab dan akhlak juga tidak boleh dipahami sebatas tata krama dan etika praktis, sehingga tidak menyentuh nilai-nilai kecendikiawanan dan tradisi keintelektualan yang menjadi basis bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Apa yang dimaksud dengan adab dan akhlak di sini adalah kualitas-kualitas mental, spiritual, sikap dan perilaku dan yang mencakup itu semua.

Pendidikan Islam meletakkan pendidikan adab dan akhlak dalam posisi yang sangat sentral. Pengamatan sepintas penulis menunjukkan bahwa hampir tidak ditemukan satu pun tulisan ulama yang membahas thalab al-‘ilm (belajar dan pembelajaran) tanpa memberi penekanan khusus pada aspek ini.

Al-Husain ibn Ismail menceritakan dari ayahnya bahwa manusia yang menghadiri majlis Imam Ahmad bin Hambal sekitar 5000-an orang atau lebih. Dari jumlah tersebut, kurang dari 500 orang yang mencatat pelajaran. Sisanya datang untuk belajar adab dan budi pekerti Imam Ahmad! Patut dicatat bahwa majlis-majlis ilmu pada masa itu, sebagaimana dilaporkan Imam az-Dzahabi, umumnya dihadiri oleh ratusan ulama yang berkualifikasi dapat mengeluarkan fatwa sendiri. Persaksian ini menegaskan posisi pendidikan adab dan akhlak dalam tradisi keilmuan Islam.

Lebih jauh, dalam pendidikan Islam, pendidikan adab dan akhlak bahkan didahulukan daripada pendidikan pada segi-segi yang lain. “Pendahulu-pendahulu saya,” tutur Sufyan at-Tsauri (w. 161 H.), “tidak mengizinkan anak-anak mereka keluar menuntut ilmu sebelum anak-anak tersebut beradab dan terbiasa dengan ibadah dua puluh tahun.” Pernyataan senada diungkapkan juga oleh Muhammad ibn Sirin (w. 110 H.), Ubaidullah ibn Umar (w. 147 H.), al-Laits ibn Saad (w. 175 H.), Abdullah ibn al-Mubarak (w. 181 H.), Mikhlad ibn Husain (w. 191 H.), Ibrahim ibn Habib as-Syahid (w. 203 H.), dll. Itu sebabnya, dahulu dikenal istilah mu-addib. Istilah ini untuk merujuk kepada orang-orang yang secara khusus melatih hapalan Al-Qur’an, mengajarkan membaca, menulis, dan melatih adab, akhlak dan ibadah kepada anak-anak didiknya.

Penekanan pada aspek adab dan akhlak dalam dalam pendidikan Islam tersebut tampaknya karena, dalam perspektif Islam, belajar bukanlah demi dan untuk belajar itu sendiri. Tapi belajar dianggap sebagai bagian dari usaha mendapat hidayah. Ilmu bahkan dipersepsikan sebagai bagian dari hidayah itu sendiri.

Imam as-Syafi’i menceritakan pengalamannya dalam sebuah lantunan sya’ir:
شكوت إلى وكيع سوء حفظي # فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخـبرنـي بأن العـلم نـور # ونور الله لا يهدى للعاصي
: Ungkapan ini adalah penjabaran dari hadits Rasulullah
من يرد الله به خيرا يفقّهه في الدين

Artinya: “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan bagi dirinya, Allah akan memberikan kepadanya pemahaman terhadap agama.”

Di sinilah mungkin salah satu perbedaan antara pendidikan yang kita kembangkan dengan pendidikan Islam. Dalam pendidikan kita, aksiologi ilmu justru diletakkan di urutan terakhir. Tradisi intelektual dan kecendikiawanan yang seharusnya ditanamkan sejak dini, baru ditanamkan ketika peserta didik menginjak bangku kuliah. Tugas mengkaji, metodologi penelitian, kemampuan berpikir kritis dan logis, objektif dalam menilai, jujur, sportif, dsj, nanti diberikan pada usia dewasa. Padahal, bila kita benar-benar menginginkan agar nilai-nilai tersebut dapat tertanam dalam sikap dan prilaku peserta didik, seharusnyalah sudah ditekankan lebih awal.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar